State Capture Corruption, Ancaman Tersembunyi yang Merusak Demokrasi dan Kesejahteraan Rakyat Selasa, 18/03/2025 | 10:23
Riau12.com-PEKANBARU – Korupsi tidak lagi sekadar suap atau gratifikasi. Ada bentuk yang lebih sistematis dan sulit dideteksi, yaitu state capture corruption, di mana aktor-aktor elit dari pemerintahan dan sektor swasta mengendalikan kebijakan serta institusi negara demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Pengamat ekonomi, Dr. Gatot Wijayanto, SE., M.Si., CIAR., CSEA., CBPA., mengungkapkan bahwa state capture corruption telah menjadi ancaman serius bagi demokrasi dan kesejahteraan rakyat di Indonesia.
“Fenomena ini terjadi ketika kebijakan dibuat bukan berdasarkan kepentingan publik, tetapi untuk menguntungkan segelintir pihak. Akibatnya, negara berubah menjadi alat eksploitasi bagi elit ekonomi dan politik,” ujarnya, Sabtu (15/3/2025).
Salah satu metode utama dalam state capture corruption adalah pembajakan regulasi. Kelompok tertentu mempengaruhi pembuatan undang-undang atau kebijakan agar sesuai dengan kepentingan bisnis mereka. Ini dilakukan melalui lobi politik, pendanaan kampanye, hingga penempatan figur loyal dalam lembaga pemerintahan.
“Di sektor pertambangan, perkebunan, dan energi, kita sering melihat bagaimana regulasi disusun sedemikian rupa untuk menguntungkan korporasi besar, sementara masyarakat adat dan lingkungan menjadi korban,” kata Dr. Gatot.
Menurut Dr. Gatot, dampak lain dari state capture corruption adalah terbentuknya monopoli dan kartel yang mengendalikan pasar serta sumber daya negara.
“Dalam beberapa kasus, kebijakan impor dibuat untuk menguntungkan segelintir importir besar, sementara produsen kecil terpinggirkan,” jelasnya.
Praktik ini juga terlihat dalam pengelolaan anggaran negara, di mana proyek-proyek strategis sering kali menjadi ladang korupsi. “Mark-up anggaran, proyek fiktif, hingga alokasi dana yang hanya menguntungkan kelompok tertentu sudah menjadi pola umum,” tambahnya.
Lebih lanjut, state capture corruption juga melemahkan demokrasi dengan menciptakan politik dinasti, mengendalikan media, dan membungkam kritik. “Ketika media dikendalikan oleh pemilik modal yang memiliki kepentingan politik, opini publik bisa diarahkan untuk melanggengkan status quo,” ujar Dr. Gatot.
Ia menegaskan bahwa Indonesia saat ini berada di persimpangan jalan. “Jika praktik ini terus dibiarkan, negara ini akan semakin tenggelam dalam ketidakadilan dan kehancuran ekonomi. Namun, jika ada keberanian untuk melawan, reformasi kelembagaan dan penguatan peran masyarakat sipil bisa menjadi jalan keluar,” katanya.
Dengan semakin kuatnya cengkeraman oligarki dalam sistem politik dan ekonomi, Dr. Gatot menilai bahwa perlawanan terhadap state capture corruption harus dilakukan secara sistematis. “Transparansi dalam kebijakan, penguatan lembaga antikorupsi, serta partisipasi aktif masyarakat sangat penting untuk merebut kembali negara dari cengkeraman korupsi sistemik,” tutupnya.(***)