Kebijakan Bea Cukai Dikritik AS, Disebut Rawan Korupsi dan Tak Adil untuk Investor Senin, 21/04/2025 | 11:40
Riau12.com-JAKARTA – Pemerintah Amerika Serikat kembali melayangkan kritik tajam terhadap sistem kepabeanan Indonesia yang dinilai tidak transparan dan menyulitkan pelaku usaha asing. Kritik tersebut disampaikan melalui laporan tahunan National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers yang dirilis oleh Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR), Minggu (20/4/2025).
Dalam laporan tersebut, AS menyebut kebijakan dan praktik Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan tidak sejalan dengan komitmen Indonesia di Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO).
Salah satu sorotan utama adalah metode penilaian bea masuk oleh petugas Bea Cukai yang dinilai bertentangan dengan Customs Valuation Agreement (CVA) WTO. Eksportir asal AS juga melaporkan adanya perbedaan nilai bea atas produk yang sama di berbagai wilayah Indonesia.
Selain itu, kebijakan verifikasi pra-pengapalan berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 16/2021 juga mendapat sorotan. Aturan ini mewajibkan verifikasi sebelum pengiriman untuk produk seperti elektronik, tekstil, makanan-minuman, hingga kosmetik melalui perusahaan surveyor.
“Hingga 31 Desember 2024, Indonesia belum menyampaikan pemberitahuan atas ketentuan ini kepada WTO sebagaimana diatur dalam Perjanjian Pemeriksaan Pra-pengapalan WTO,” tulis USTR dalam laporan tersebut.
Regulasi terkait barang tidak berwujud seperti transmisi dan unduhan elektronik juga menjadi perhatian. Prosedur klasifikasi dalam Bab 99 Buku Tarif Indonesia dianggap membebani industri AS karena kewajiban penyimpanan dokumen yang belum memiliki definisi jelas.
Lebih lanjut, sistem pemberian insentif kepada petugas Bea Cukai Indonesia juga dikritik karena dianggap membuka celah praktik korupsi. Dalam sistem yang ada, petugas dapat menerima hingga 50 persen dari nilai barang sitaan atau bea yang dipungut dari pelanggaran kepabeanan.
Menurut USTR, sistem semacam ini bertentangan dengan prinsip Perjanjian Fasilitasi Perdagangan WTO yang menganjurkan agar negara anggota menghindari insentif tidak proporsional yang bisa mendorong penegakan hukum secara berlebihan.
“Indonesia telah menyampaikan pemberitahuan mengenai peraturan penilaian kepabeanannya kepada WTO sejak September 2001, namun hingga kini belum memberikan jawaban atas Daftar Pertanyaan WTO yang menggambarkan implementasi Perjanjian Penilaian Kepabeanan tersebut,” tulis USTR.(***)