Soroti Inkonsistensi Efisiensi, Pakar Ekonomi Minta Pemerintah Keluarkan Panduan Baru Selasa, 10/06/2025 | 09:44
Riau12.com-PEKANBARU – Pengamat ekonomi Universitas Riau, Dr Gatot Wijayanto, menilai kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pusat melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tidak disusun berdasarkan kajian mendalam dan menimbulkan kebingungan di daerah.
"Ini menggarisbawahi bahwa proses pengambilan kebijakan efisiensi, atau bahkan Perpres efisiensi sebelumnya, tidak benar-benar didasarkan pada kajian yang matang," ujarnya, Senin (9/6/2025).
Kritik tersebut disampaikan menyusul pernyataan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, yang memperbolehkan pemerintah daerah kembali menggelar kegiatan di hotel dan restoran.
"Daerah boleh melaksanakan kegiatan di hotel dan restoran. Saya jamin karena saya sudah bicara langsung dengan Presiden Prabowo," ujar Tito dalam Musrenbang Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat di Mataram, Rabu (4/6/2025).
Ia menekankan pentingnya menjaga keberlangsungan sektor perhotelan dan restoran yang menggantungkan pendapatan dari kegiatan meeting, incentive, convention, exhibition (MICE). Menurutnya, sektor ini menyerap banyak tenaga kerja dan melibatkan rantai pasok yang luas.
"Kurangi boleh, tetapi jangan sama sekali tidak ada. Tetap melaksanakan kegiatan di hotel dan restoran. Target betul hotel dan restoran yang kira-kira agak kolaps, buatlah kegiatan di sana supaya mereka bisa hidup," paparnya.
Namun, Gatot mengkritik pernyataan Mendagri yang memperbolehkan kegiatan asalkan “tidak berlebihan”, karena dinilai tidak memiliki indikator yang jelas.
"Kalau indikatornya cuma ‘tidak berlebihan’, lalu ukuran objektifnya apa? Apakah pakai perasaan saja? Ini tentu berbahaya kalau tidak ada tolok ukur yang konkret," ungkapnya.
Ia menilai inkonsistensi kebijakan dari pusat menempatkan pemerintah daerah dalam posisi dilematis. Di satu sisi diminta berhemat, di sisi lain diminta menghidupkan industri MICE tanpa arahan teknis.
"Akibatnya, kebijakan efisiensi ini menimbulkan masalah baru, terutama menyangkut okupansi hotel dan restoran yang selama ini juga berkontribusi pada pendapatan asli daerah. Jadi menurut saya, Inpres itu tidak berlandaskan prinsip evidence-based policy making, karena dampaknya terhadap belanja pelayanan publik tidak dipertimbangkan," jelasnya.
Meski begitu, Gatot mengakui pentingnya relaksasi dalam kebijakan efisiensi anggaran demi menopang sektor ekonomi daerah. Ia mendorong pemerintah pusat segera mengeluarkan panduan teknis yang lebih tegas.
"Relaksasi itu penting, tetapi harus dibarengi dengan pedoman yang eksplisit. Misalnya, SE (Surat Edaran) baru dari Mendagri bisa menjadi revisi atas SE Nomor 900/833/SJ yang dikeluarkan 23 Februari lalu," ujarnya.
Ia menambahkan, tanpa pedoman baru, pemerintah daerah akan menghadapi risiko besar.
"Kalau tidak ada pedoman baru, resikonya besar. Bisa kebablasan atau malah justru takut melangkah. Padahal, spirit efisiensi dan relaksasi itu harus seimbang, terukur, dan tetap berpihak pada kepentingan masyarakat," tutupnya. (***)