Disebut 'M' Orang Bertanggung jawab di Kasus Korupai SPPD Fiktif, Muflihun Siap Tempuh Jalur Hukum Jumat, 20/06/2025 | 08:35
PEKANBARU -Riau12.com- Diungkapnya Pengguna Anggaran berinisial M di Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat (Setwan) Riau sebagai orang yang bertanggung jawab di kasus dugaan korupsi perjalanan dinas fiktif membuat Muflihun bereaksi
Melalui tim kuasa hukumnya dari Kantor Advokat & Konsultan Hukum Ahmad Yusuf, SH & Rekan (AYLawyers), Muflihun melakukan 'perlawanan' karena inisial calon tersangka itu dinilai sangat merugikan dirinya.
"Penyebutan inisial M secara terbuka telah menimbulkan prasangka publik yang merugikan nama baik klien kami," ujar Ahmad Yusuf didampingi Muflihun kepada awak media di Pekanbaru, Kamis (19/6) petang.
Ahmad Yusuf mengatakan, hingga saat ini Muflihun tidak pernah menerima surat pemberitahuan atau penetapan sebagai tersangka. Sehingga penyebutan inisial M sangat merugikan.
"Penyebutan inisial 'M' telah membentuk opini yang merugikan dan melanggar asas praduga tak bersalah,” kata Ahmad Yusuf.
Lebih lanjut, Ahmad Yusuf menegaskan bahwa Muflihun, dalam kapasitasnya sebagai Sekretaris DPRD Provinsi Riau, tidak memiliki kewenangan teknis maupun administratif terkait pelaksanaan dan pertanggungjawaban SPPD.
Menurutnya, fungsi tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), bendahara, dan pejabat teknis lainnya.
“Tidak ada satu pun alat bukti yang menunjukkan keterlibatan aktif maupun pasif klien kami dalam dugaan pelanggaran hukum tersebut,” tegasnya.
Siap Serahkan Video Klarifikasi
Sebagai bentuk transparansi, kata Yusuf, pihaknya menyatakan akan menyerahkan video resmi klarifikasi dari Muflihun kepada publik dan pihak berwenang.
Dalam video tersebut, Muflihun akan menyampaikan secara langsung bahwa dirinya tidak terlibat, baik secara hukum maupun administratif, dalam dugaan kasus tersebut.
Menyikapi tekanan opini publik dan potensi ancaman terhadap hak hukum kliennya, AYLawyers juga telah mengajukan permohonan perlindungan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
"Tujuan kami adalah memberikan jaminan perlindungan hukum serta psikologis kepada klien kami (Muflihun) selama proses hukum berlangsung," ungkap Yusuf.
Di kesempatan itu, Ahmad Yusuf menekankan jika dalam perkembangan nanti Muflihun tetap ditetapkan sebagai tersangka tanpa dasar hukum yang sah, tim kuasa hukum menyatakan akan menempuh berbagai langkah hukum.
"Kami akan mengajukan gugatan praperadilan, menggugat surat penyidikan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan melaporkan oknum penyidik ke Divisi Propam Polri dan Kompolnas," tegasnya.
Selain itu, tim kuasa hukum akan menempuh jalur hukum perdata dan pidana atas dugaan pencemaran nama baik, kebocoran informasi, serta penyalahgunaan kewenangan.
“Kami menegaskan bahwa hukum harus ditegakkan secara adil, bukan dijadikan alat untuk kriminalisasi,” tutup Ahmad Yusuf.
Diketahui, diputuskannya inisial M selaku Pengguna Anggaran tahun 2020-2021 di Setwan Riau sebagai orang yang paling bertanggung jawab dalam kasus dugaan korupsi Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif dinyatakan setelah penyidik melakukan gelar perkara dengan Koordinator Staf Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Bareskrim Polri, Selasa (17/6/2025).
Dari gelar perkara itu, ditemukan dua alat bukti adanya tindak pidana dengan kerugian negara Rp195,9 miliar.
“Terhadap saudara M, selaku Pengguna Anggaran dapat dimintai pertanggungjawaban dan dapat ditetapkan sebagai tersangka yang dilakukan di Polda Riau, setelah notulen gelar perkara dalam rangka asistensi penetapan tersangka ditandatangani Kakortas Tipikor Polri,” ujar Ade, Rabu (18/6/2025).
Ade menjelaskan, berdasarkan hasil analisis penyidik, M dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dan segera ditetapkan sebagai tersangka.
"Penetapan status tersangka terhadap Sdr. M akan dilakukan oleh Polda Riau setelah notulen gelar perkara ditandatangani oleh Kepala Kortas Tipidkor Polri sebagai bentuk asistensi formal dari Mabes Polri," jelas Ade.
Ade mengungkapkan, penyidik tengah mengelompokkan sejumlah pihak yang terlibat, baik mereka yang memiliki kewenangan besar dalam proses pencairan SPPD fiktif, maupun pihak-pihak yang menerima aliran dana dalam jumlah signifikan.
Tujuan dari proses ini adalah untuk mengungkap struktur dan skema korupsi secara menyeluruh.
Ditanyai lebih lanjut soal inisial M tersebut apakah mantan Sekretaris Dewan (Sekwan) di DPRD Riau, Ade tak menampiknya. "Ya,” singkat Ade.
Penyidik berencana juga akan menerapkan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU). “Nanti kita lapis TPPU supaya kita bisa lakukan asset tracing (penelusuran aset, red),” sebut Ade dalam wawancara sebelumnya.
Ade menyebut dengan begitu maka aset-aset yang dibeli dari hasil uang korupsi, diharapkan dapat ditemukan dan disita untuk memulihkan kerugian keuangan negara.
Disinggung soal kasus ini bisa dikategorikan korupsi berjamaah, Ade tak menampiknya. “Bisa dibilang seperti itu,” jelasnya.
Dalam pengungkapan kasus ini, penyidik telah memeriksa 400 lebih saksi. Di antara saksi tersebut terdapat sejumlah pejabat di Setwan Riau, yang telah diperiksa berulang kali.
Dalam proses penyidikan, penyidik telah menyita uang tunai hampir Rp20 miliar. Uang itu disita dari tiga klaster penerima dana SPPD fiktif yakni Aparatur Sipil Negara (AS), tenaga ahli dan honorer di Setwan Riau.
Selain itu, penyidik juga telah menyita sejumlah barang mewah dan aset-aset yang berada di sejumlah daerah dengan jumlah miliaran.
Di antara aset yang disita antara lain: 1 unit sepeda motor Harley Davidson tipe XG500 tahun 2015, bernomor polisi BM 3185 ABY, senilai lebih dari Rp200 juta.
Barang-barang mewah berupa tas, sepatu, dan sandal bermerek. Empat unit apartemen di Kompleks Nagoya City Walk, Batam, dengan nilai sekitar Rp2,1 miliar.
Tanah seluas 1.206 meter persegi dan satu unit homestay di Jorong Padang Tarok, Nagari Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, dengan nilai sekitar Rp2 miliar.
Sebuah rumah di Jalan Banda Aceh, Kelurahan Tangkerang Utara, Kecamatan Bukit Raya, Kota Pekanbaru. (***)