Riau12.com- Presiden Amerika Serikat Donald Trump tampaknya masih berhati-hati dalam merespons dorongan Israel untuk menggulingkan rezim Iran. Meski memberi sinyal dukungan terhadap serangan terbatas ke target-target Iran, Trump belum secara terbuka menyuarakan pergantian rezim seperti yang diinginkan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu.
“Presiden Donald Trump akan membuat keputusan dalam dua minggu ke depan apakah akan terlibat di pihak Israel,” bunyi keterangan Gedung Putih, dikutip dari Strait Times, Jumat (20/6/2025).
Banyak pihak menduga, keraguan Trump bukan tanpa alasan, ia bisa jadi terbayang oleh sejarah kelam intervensi Amerika di Iran tahun 1953. Sekitar 72 tahun lalu, Amerika Serikat, melalui CIA, menggulingkan Perdana Menteri Iran saat itu, Mohammad Mosaddegh, yang terpilih secara demokratis.
“Langkah itu dilakukan setelah Mosaddegh menasionalisasi industri minyak yang sebelumnya dikuasai Anglo-Iranian Oil Company, perusahaan Inggris yang kini dikenal sebagai BP,” tulis YNetNews, Jumat.
Dengan dukungan Inggris, CIA melancarkan kudeta diam-diam dan mengganti Mosaddegh dengan Jenderal Fazlollah Zahedi. Kudeta ini membuka jalan bagi Shah Mohammad Reza Pahlavi untuk kembali berkuasa dengan sistem monarki yang otoriter.
Meski berhasil mengamankan kepentingan minyak Barat selama lebih dari dua dekade, tindakan ini juga menyulut kebencian mendalam terhadap Barat dan menjadi salah satu penyebab utama Revolusi Islam 1979.
Pada 2013, CIA secara terbuka mengakui perannya dalam kudeta tersebut, dari menyuap politisi dan militer hingga menyebar propaganda. Kudeta Iran 1953 kini dianggap sebagai peringatan keras bahwa intervensi asing, meski terlihat sukses di awal, kerap menciptakan masalah jangka panjang yang jauh lebih besar.
Dan itulah konteks yang mungkin membuat Donald Trump enggan mengambil risiko yang sama. Ia tahu bahwa intervensi asing AS punya sejarah panjang yang lebih sering gagal daripada berhasil.
“Lihat saja Irak, Libya, dan Afghanistan, semua berujung pada kekacauan berkepanjangan, munculnya kelompok ekstremis baru, serta meningkatnya sentimen anti-Amerika di dunia Muslim,” kritik YnetNews.
Meski banyak pihak luar berharap terjadi revolusi di Iran, realitas di lapangan tidak sesederhana itu. Puluhan juta rakyat Iran masih mendukung rezim yang berkuasa., Ayatollah Ali Khamenei. Bahkan, sebagian dari mereka menganggap pemerintah saat ini belum cukup keras dalam menerapkan nilai-nilai Islam.
Jika dijatuhkan dengan cara kekerasan, risiko perang saudara di Iran sangat besar. Dan itulah yang mungkin coba dihindari oleh pemerintahan Trump saat menjabat, dengan memilih strategi tekanan maksimum daripada keterlibatan militer langsung.
Iran bukan negara yang akan diam jika diserang. Para pemimpinnya naik ke tampuk kekuasaan lewat revolusi dan memahami risiko kehilangan kekuasaan. Jika terdesak, mereka bisa membalas dengan kekerasan yang tak kalah masif.
Selain Iran, sejarah mencatat berbagai intervensi AS yang berujung kegagalan, dari Vietnam, Angola, Nicaragua, hingga Haiti. Hanya Jerman dan Jepang pasca-Perang Dunia II yang dianggap berhasil, itu pun karena dukungan global dan kondisi geopolitik yang sangat berbeda.
Memang benar, rezim Iran saat ini kerap dikritik karena tindakan represif terhadap perempuan, minoritas, dan oposisi politik. Mereka juga dituduh mendukung kelompok teroris, menjual senjata ke Rusia, dan mempercepat program nuklir. Namun, rakyat Iran sudah cukup belajar bahwa menggulingkan satu rezim bukan jaminan kehidupan yang lebih baik.
Donald Trump mungkin menyadari pelajaran pahit itu. Alih-alih terlibat langsung dalam rencana pergantian rezim, ia memilih untuk bermain aman, menghindari konflik yang bisa menyeret AS ke dalam kekacauan baru seperti yang pernah terjadi di masa lalu.(***)