KAMMI Minta Penetapan Tersangka Kasus SPPD Fiktif Setwan Riau Dilakukan Secara Terbuka Sabtu, 21/06/2025 | 12:42
PEKANBARU-Riau12.com - Ketua Umum KAMMI Wilayah Riau Febriansyah mendesak agar proses penetapan tersangka dalam kasus dugaan Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif di Sekretariat DPRD (Setwan) Riau dilakukan secara terbuka.
Ia menilai, transparansi dalam penanganan kasus ini penting sebagai pembelajaran bagi Riau, yang selama ini dikenal sebagai negeri kaya namun tak lepas dari jeratan praktik korupsi.
Kasus ini diduga merugikan negara sebesar Rp195,9 miliar berdasarkan audit resmi BPKP. Dana rakyat sebesar itu raib dalam dua tahun anggaran, 2020 dan 2021, sementara kondisi sekolah dan fasilitas kesehatan di Riau masih jauh dari layak.
Febriansyah mengingatkan agar proses penyidikan yang telah berjalan sejak Januari 2024 ini tidak berakhir pada penetapan “tersangka kelas teri”.
Terlebih, proses yang memakan waktu panjang ini sempat terhenti akibat pelaksanaan Pilkada serentak. Hingga kini, lebih dari 400 orang saksi telah diperiksa.
“Jangan sampai kerugian ratusan miliar ini hanya berujung pada kambing hitam yang tidak menyentuh otak dari kejahatan anggaran tersebut,” tegasnya, Sabtu (21/6/2025).
Ia juga menyoroti lemahnya langkah aparat penegak hukum daerah. Uang tunai yang disita disebutnya masih jauh dari total kerugian negara. Sementara sejumlah aset mewah seperti motor Harley Davidson dan apartemen di Batam masih menunggu evaluasi. Padahal, bukti-bukti berupa tiket pesawat dan faktur hotel palsu sudah menumpuk.
“Lambannya proses ini bukan lagi soal teknis audit, tapi menjadi sinyal kuat bahwa praktik korupsi berjamaah tengah dilindungi jejaring kekuasaan lokal,” ungkapnya.
Febriansyah kemudian merujuk pada pidato Presiden Prabowo Subianto pada 2 Juni 2025, yang menegaskan bahwa pemberantasan korupsi menjadi agenda prioritas nasional, sebagaimana tertuang dalam misi ke-7 Asta Cita menuju Indonesia Emas 2045.
Ia menilai, kelambanan penanganan kasus ini oleh Polda Riau turut menguji komitmen Presiden dalam menjalankan agenda reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi. Karena itu, menurutnya, dorongan agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil alih kasus ini merupakan langkah logis untuk memastikan arah pusat sejalan dengan penegakan hukum di daerah.
“Sudah terlalu banyak pejabat Riau yang terjerat kasus korupsi, hingga ke tingkat gubernur. Penetapan tersangka kali ini harus menyentuh seluruh pelaku secara transparan, agar menjadi pelajaran penting ke depan. Kalau perilaku korupsi tidak dicabut dari budaya birokrasi, negeri kaya ini akan terus miskin,” tutupnya.(***)