Kaya Akan Antioksidan, Peneliti Ungkap Potensi Besar Tempuyung dalam Pengobatan Tradisional Kamis, 31/07/2025 | 13:54
JAKARTA -Riau12.com- Tempuyung (Sonchus arvensis L.) memiliki potensi besar dalam pengobatan tradisional dengan berbagai manfaat kesehatan.
Berdasarkan penelitian ilmiah dan pemanfaatan tradisional, tempuyung dikenal sebagai peluruh batu ginjal dan telah ada produk komersialnya.
Hal ini disampaikan oleh Prof Mohamad Rafi, Pakar Biofarmaka, Pemisahan Analitik, dan Metabolomik IPB University.
Ia menjelaskan, “Kemampuannya sebagai peluruh batu ginjal disebabkan karena tanaman ini mengandung kalium dan flavonoid.”
“Kandungan kalium dan flavonoid inilah yang berperan dalam membantu melarutkan batu ginjal serta meningkatkan ekskresi urine. Efek diuretiknya juga membantu mengurangi penumpukan mineral di ginjal,” ujarnya, melalui siaran pers, Kamis (31/7/2025).
Selain potensinya sebagai peluruh batu ginjal, tempuyung memiliki potensi sebagai antioksidan karena kandungan flavonoidnya yang berfungsi sebagai antioksidan alami. Senyawa ini dapat membantu menangkal radikal bebas dan berpotensi mencegah kerusakan sel serta penuaan dini.
Ia menurutkan, tempuyung juga memiliki potensi sebagai antiinflamasi. Beberapa penelitian melaporkan bahwa ekstrak daun tempuyung memiliki aktivitas menghambat peradangan, sehingga relevan digunakan untuk mengatasi nyeri sendi, luka, atau gangguan inflamasi ringan.
Penelitian dari salah satu peneliti Pusat Studi Biofarmaka Tropika (TropBRC) IPB University, Prof Dyah Iswantini, juga telah memanfaatkan ekstrak tempuyung sebagai salah satu bahan penyusun dalam formula obat herbal untuk antigout (obat asam urat) dan antihipertensi, dengan memanfaatkan khasiatnya sebagai diuretik dan antiinflamasi.
Penelitian lain menunjukkan bahwa tempuyung juga memiliki kemampuan menurunkan kadar kolesterol, dengan senyawa aktif β-sitosterol yang berperan dalam mekanismenya.
Selain itu, tempuyung berpotensi sebagai bahan alami untuk mengatasi infeksi ringan karena memiliki aktivitas antibakteri dan antijamur.
“Potensi tanaman tempuyung ini sangat besar. Namun, tantangan dalam hal standardisasi dan pembuktian klinis yang sahih masih menjadi kendala utama dalam pengembangannya sebagai fitofarmaka berbasis bukti ilmiah,” ungkapnya.
Ia menjelaskan bahwa tempuyung banyak mengandung senyawa kimia dari golongan flavonoid seperti luteolin, apigenin, dan kuersetin, serta senyawa golongan seskuiterpenoid, fenolik, dan adanya kalium dengan kadar tinggi.
“Dari sisi kimia analitik, pengujian kuantitatif sudah dilakukan menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi untuk analisis flavonoid, spektrofotometri UV-Vis untuk menentukan kadar fenolik dan flavonoid total, serta AAS atau ICP-OES untuk kandungan kalium dalam tempuyung,” jelasnya.
Meski telah digunakan dalam produk obat herbal terstandar untuk peluruh batu ginjal serta juga dalam tahap pengembangan sebagai produk obat herbal antihipertensi dan antigout di TropBRC IPB University, Prof Rafi mengungkapkan kendala utama pengembangan obat herbal berbasis tempuyung.
“Ketersediaan data kuantitatif dan standardisasi bahan baku atau produk jadi masih terbatas dan tidak selalu selaras antar penelitian ataupun pengujian,” paparnya.
Variasi kondisi pertumbuhan, penanganan pascapanen, serta proses ekstraksi disebut sebagai faktor penyebab rendahnya konsistensi kandungan senyawa aktif.
Pada akhirnya, hal tersebut memengaruhi korelasi dosis dan efek klinis. Meski sudah terdapat uji in vitro dan in vivo, data uji klinis pada manusia masih sangat minim.
Menurut Prof Rafi, beberapa tantangan besar yang harus diatasi untuk menjadikan tempuyung sebagai fitofarmaka antara lain variabilitas bahan baku, kurangnya standar ekstrak, keterbatasan uji klinis, serta belum optimalnya dukungan regulasi.
“Tidak semua produsen memiliki ekstrak yang terstandardisasi, misalnya kadar minimum luteolin atau kalium,” katanya.
Ia juga menekankan perlunya sinergi antara pemerintah, akademisi, dan industri untuk memperkuat riset tanaman lokal.
Lebih lanjut, Prof Rafi menjelaskan penggunaan aplikasi kemometrik dengan pendekatan metabolomik dapat menjadi alternatif dalam proses penjaminan mutu dan konsistensi produk tempuyung. Misalnya dalam hal autentikasi bahan baku, mengidentifikasi senyawa bioaktif untuk menjadi senyawa penanda, dan lain sebagainya.
“Contohnya, analisis kemometrik seperti principal component analysis digunakan untuk membedakan ekstrak tempuyung dari daerah dataran rendah versus tinggi berdasarkan profil LC-MS/MS. Ini membantu menjaga reproducibility produk,” ujarnya.
Analisis metabolomik yang menyeluruh menggunakan LC-MS atau NMR juga dapat memantau biomarker dan menghasilkan chemical fingerprint yang digunakan sebagai standar mutu. Ia juga menyoroti pentingnya metode analisis sederhana namun efektif untuk menghindari pemalsuan bahan baku herbal.
Spektroskopi FTIR yang dikombinasikan dengan kemometrik mampu mendeteksi keaslian bahan tanpa merusak sampel. Sementara itu, kromatografi lapis tipis-densitometri berguna untuk mendeteksi flavonoid penanda seperti luteolin.
“Dengan potensi besar yang dimilikinya, tempuyung masih memerlukan dukungan riset mendalam, standardisasi menyeluruh, serta validasi klinis yang kuat agar dapat berkembang menjadi fitofarmaka andalan Indonesia,” tutupnya.(***)