Pengangkatan Menteri di Era Jokowi Dinilai Gegabah, Guru Besar IPDN: Popularitas Tak Bisa Gantikan Sense of Bureaucracy Kamis, 11/09/2025 | 11:06
Riau12.com-PEKANBARU – Penetapan tersangka terhadap mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim, dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Chromebook untuk program digitalisasi pendidikan, memicu perdebatan tajam di ruang publik.
Mantan Menko Polhukam, Mahfud MD, turut angkat suara. Ia menyebut Nadiem sebagai sosok bersih, namun dinilai “tidak paham birokrasi dan pemerintahan.”
Pernyataan ini ditanggapi serius oleh Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, M.A., Guru Besar IPDN, yang menegaskan bahwa integritas saja tidak cukup untuk menyelamatkan pejabat publik dari jerat sistem birokrasi yang kompleks.
“Kalau ada orang bersih masuk ke pemerintahan, tapi tidak punya kemampuan menjaga integritas di tengah sistem yang kotor, maka orang bersih itu bisa larut dan ikut menjadi kotor,” ujarnya dalam wawancara dengan Radio Elshinta, Rabu (10/9/2025).
Dari Pebisnis ke Menteri: Risiko Minimnya Sense of Bureaucracy
Menurut Djohermansyah, Nadiem adalah contoh klasik dari pebisnis yang masuk ke birokrasi negara tanpa pengalaman memadai. Sebagai pendiri Gojek, Nadiem terbiasa dengan fleksibilitas birokrasi korporasi. Namun, dalam pemerintahan, ia harus menghadapi sistem rigid dengan pengawasan berlapis.
“Ada aturan ketat. Uang rakyat dikelola dengan mekanisme pengadaan barang dan jasa yang sangat diawasi. Tidak bisa hanya berdasarkan inisiatif pribadi,” jelasnya.
Kritik terhadap Pola Pengangkatan Menteri
Lebih jauh, ia menyoroti pola pengangkatan pejabat di era Presiden Joko Widodo yang dinilai sering mengabaikan prinsip dasar kepemimpinan publik.
“Praktik pengangkatan pejabat di era Jokowi ini agak gegabah. Seringkali berdasarkan like and dislike, bukan pada kapasitas teknikal dan manajerial,” tegasnya.
Akibatnya, banyak pejabat dari sektor swasta yang populer, namun gagal beradaptasi dengan birokrasi. Sebagian bahkan tersandung kasus hukum.
Tiga Pola Korupsi dalam Pemerintahan
Djohermansyah menguraikan ada tiga pola umum korupsi di pemerintahan:
1. Korupsi birokrasi, oleh ASN atau pejabat struktural.
2. Korupsi politisi/pejabat negara, yang menyalahgunakan wewenang.
3. Kombinasi keduanya, berupa kolusi birokrasi dan politisi.
“Dalam kasus Nadiem, perlu dilihat apakah yang korup itu birokrasi di bawahnya, atau ada aktor lain yang ikut bermain di belakang layar,” katanya.
Tanda Tangan Bisa Jadi Beracun
Ia juga mengingatkan bahwa banyak pejabat terseret kasus hukum hanya karena tanda tangan mereka ada dalam dokumen pengadaan yang bermasalah.
“Tanda tangan bisa jadi beracun. Meski tidak menikmati uang korupsi, pejabat tetap bisa dijerat hukum,” ujarnya, menyinggung kasus serupa yang pernah menjerat eks Kepala BKPM Thomas Lembong.
Menteri Butuh Lebih dari Sekadar Niat Baik
Menurut Djohermansyah, seorang menteri harus memiliki kombinasi integritas, pengetahuan, dan pengalaman birokrasi.
“Seorang menteri membawahi ribuan ASN. Kalau hanya asal perintah tanpa tahu sistem, bisa celaka,” katanya.
Ia mencontohkan Jepang, di mana banyak menteri berasal dari birokrat karier, sehingga memiliki sense of bureaucracy yang kuat.
Catatan untuk KPK dan Reformasi Birokrasi
Menutup analisanya, ia menegaskan KPK tidak boleh hanya menunggu korupsi terjadi. Lembaga antirasuah perlu fokus pada pencegahan sistemik melalui pembenahan birokrasi, edukasi antikorupsi, serta peningkatan profesionalisme ASN.
“Indeks persepsi korupsi kita terus menurun. Ini tanda reformasi belum berhasil. Kasus Nadiem adalah peringatan: integritas penting, tapi tidak cukup. Menteri harus paham birokrasi agar niat baik tidak berubah jadi bumerang,” pungkasnya.