Masyarakat Apresiasi WPR Kuansing, Tapi Ragukan Realisasi: Solusi Nyata atau Janji Politik? Jumat, 12/09/2025 | 13:32
Riau12.com-KUANSING – Masyarakat Kuantan Singingi (Kuansing) menyambut baik langkah Pemerintah Provinsi Riau yang berupaya melegalkan aktivitas pertambangan rakyat melalui pengusulan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Namun, sebagian pihak mempertanyakan apakah rencana ini benar-benar serius dijalankan atau sekadar intrik politik untuk pencitraan.
Gubernur Riau, Abdul Wahid, pada 21 Agustus 2025 lalu meninjau lokasi Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Desa Pintu Gobang Kari, Kecamatan Kuantan Tengah, bersama Kapolda Riau Herry Heryawan, Bupati Kuansing Suhardiman Amby, dan Bupati Inhu Ade Agus Hartarto. Saat itu, Wahid menyampaikan bahwa Pemprov telah mengajukan rencana WPR ke pemerintah pusat melalui Dinas Pertambangan.
Menurutnya, dengan adanya WPR, masyarakat dapat bekerja secara legal tanpa khawatir berhadapan dengan hukum, sekaligus berkontribusi terhadap pendapatan daerah, membuka lapangan kerja, serta meningkatkan perekonomian. “Kita sudah mengusulkan, nanti pemerintah pusat yang menentukan titik izinnya,” jelas Wahid.
Namun, pernyataan tersebut menimbulkan pertanyaan. Dalam aturan pertambangan, penentuan titik WPR justru harus diawali oleh pihak yang mengajukan, dalam hal ini Pemprov Riau, melalui eksplorasi geologi awal, pengambilan sampel, analisis laboratorium, hingga verifikasi oleh Competent Person Indonesia (CPI). Setelah itu barulah diajukan ke Kementerian ESDM dengan melampirkan dokumen lengkap, termasuk hasil eksplorasi dan dukungan masyarakat setempat.
Fakta di lapangan menunjukkan, proses ini belum terlihat berjalan. Sosialisasi dengan masyarakat pun disebut belum pernah dilakukan, sehingga publik mempertanyakan keseriusan Pemprov. Apalagi luas lahan yang disebutkan Wahid mencapai 14 ribu hektare, namun titik pastinya tidak dijelaskan.
“Kalau penentuan titik saja menunggu pusat, jelas bertentangan dengan prosedur pengajuan WPR,” kritik sejumlah pihak.
Kini, masyarakat Kuansing masih menanti realisasi nyata dari wacana WPR tersebut. Apakah ini benar-benar langkah solusi untuk mengakhiri aktivitas PETI yang kerap memunculkan konflik hukum dan kerusakan lingkungan, atau hanya sekadar janji manis untuk pencitraan politik?