Pengamat Pajak: Dugaan Pajak Rp340 Miliar Raffi Ahmad Terlalu Sederhana dan Menyesatkan Sabtu, 13/09/2025 | 08:57
Riau12.com-Jakarta– Presenter sekaligus Utusan Khusus Presiden, Raffi Ahmad, tengah menjadi sorotan publik terkait isu dugaan penggelapan pajak hingga Rp340 miliar. Isu ini muncul dari asumsi bahwa dengan harta kekayaan sekitar Rp1 triliun, Raffi seharusnya membayar pajak hingga ratusan miliar.
Namun, pengamat pajak sekaligus Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono, menilai perhitungan tersebut menyesatkan. “Narasi harta Rp1 triliun lalu dipukul rata harus bayar pajak Rp340 miliar itu terlalu ringkas dan keliru. Perhitungannya tidak sesederhana itu,” ujar Prianto, Jumat (12/9/2025).
Prianto menjelaskan, sistem perpajakan di Indonesia terdiri atas 21 jenis pajak yang terbagi antara pajak pusat dan daerah. Dari jumlah tersebut, hanya dua jenis pajak yang berkaitan langsung dengan harta: pajak atas transaksi perolehan atau pelepasan harta, serta pajak atas kepemilikan harta.
Untuk transaksi perolehan atau pelepasan harta, pajak meliputi PPh atas penghasilan, PPN dan PPnBM untuk pembelian barang mewah, BPHTB untuk tanah dan bangunan, serta BBNKB untuk kendaraan. Sedangkan untuk kepemilikan, ada PBB yang dibayarkan tahunan dan PKB lima tahunan.
Dengan asumsi penghasilan Rp1 triliun dalam setahun, tarif progresif Pasal 17 UU PPh memang dapat menghasilkan perhitungan pajak hingga Rp349,694 miliar. Namun, Prianto menegaskan, asumsi ini tidak bisa langsung diterapkan pada kondisi sebenarnya. “Harta Rp1 triliun di LHKPN tidak identik dengan penghasilan satu tahun. Ada perbedaan tahun perolehan harta, dan basis penilaiannya pun berbeda,” jelasnya.
Ia menambahkan, penilaian tanah atau bangunan dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) merujuk pada NJOP PBB, bukan nilai transaksi sebenarnya. “Fokus pajak pribadi adalah tambahan penghasilan di tahun berjalan, bukan total harta yang tercatat di LHKPN,” tegas Prianto.
Sejauh ini, dugaan penggelapan pajak Raffi Ahmad masih berupa spekulasi publik tanpa perhitungan yang sesuai dengan aturan perpajakan. Prianto menekankan pentingnya pemahaman publik agar tidak terjadi kesalahpahaman antara harta yang dilaporkan dengan kewajiban pajak yang sebenarnya.