Tiga Mahasiswa Belum Ditemukan, KontraS Sebut Ada Dugaan Penghilangan Paksa Sabtu, 13/09/2025 | 09:31
Jakarta-Riau12.com – Data terbaru Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat bahwa setidaknya tiga orang masih dinyatakan hilang setelah unjuk rasa yang digelar pada Agustus 2025. Data ini dirilis hingga Jumat, 12 September 2025, sejak posko pengaduan dibuka pada 2 September 2025.
Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya Saputra, menyebut terdapat 44 orang yang dilaporkan hilang sejak aksi unjuk rasa tersebut. “Sampai pada tanggal 8 September 2025 dari 44 pelaporan orang hilang, 3 masih belum ditemukan,” ujar Dimas dalam konferensi pers di Kantor KontraS, Jakarta.
Ketiga orang yang masih hilang adalah mahasiswa, yakni:
Bima Permana Putra, bukan peserta aksi, terakhir terlihat di sekitar Glodok, Jakarta Barat pada 31 Agustus 2025, sekitar pukul 20.00 WIB.
Muhammad Farhan Hamid, demonstran yang mengikuti aksi di depan Mako Brimob Polda Metro Jaya, Kwitang, Jakarta Pusat, pada 29 Agustus 2025. Farhan dinyatakan hilang sejak 31 Agustus 2025.
Reno Syahputra Dewo, demonstran lainnya yang juga mengikuti aksi di Mako Brimob pada 29 Agustus 2025, dan hilang sejak 30 Agustus 2025.
“Keluarga korban telah mengontak pihak kepolisian, termasuk Mako Brimob Kwitang, namun hingga hari ini belum diketahui keberadaannya,” terang Dimas.
KontraS menduga ketiga mahasiswa tersebut merupakan korban penghilangan secara paksa. Menurut KontraS, penghilangan paksa memiliki tiga elemen: perampasan kebebasan yang bertentangan dengan kehendak orang bersangkutan, dilakukan oleh aktor negara baik langsung maupun tidak langsung, dan penolakan untuk mengungkap informasi mengenai nasib serta keberadaan orang yang hilang sehingga berada di luar jangkauan hukum.
Berdasarkan investigasi KontraS, dari 44 orang yang dilaporkan hilang, 9 ditemukan dalam tahanan oleh kepolisian dan 8 orang ditetapkan sebagai tersangka.
“Kami juga berencana menyambangi keluarga-keluarga, baik itu yang sudah ditemukan, yang masih ditahan atau diperiksa di kepolisian, maupun korban yang masih belum ditemukan,” tambah Dimas.
Kasus ini kembali menyoroti pentingnya transparansi dan perlindungan hukum bagi warga negara, serta pemenuhan hak atas keadilan bagi korban penghilangan paksa.