Minyak Rusia Jadi Pemicu, AS dan China di Ambang Perang Dagang Jilid II Selasa, 16/09/2025 | 11:40
Riau12.com--Perseteruan dagang Amerika Serikat (AS) dan China kembali mencapai titik panas. Presiden Donald Trump mengancam bakal mengenakan tarif impor hingga 100 persen terhadap barang-barang asal Beijing. Ancaman ini dipicu oleh sikap China yang masih membeli minyak mentah dari Rusia, meski NATO dan sekutunya telah menjatuhkan sanksi keras terhadap Moskow.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian, langsung menolak tekanan sepihak Washington. Ia menegaskan, kerja sama energi dengan Rusia adalah hak sah China dan tidak bertentangan dengan aturan perdagangan internasional.
“Langkah yang diambil AS adalah bentuk unilateralisme, intimidasi, dan pemaksaan ekonomi. China berhak bekerja sama dengan siapa pun sesuai kepentingannya,” kata Lin Jian dalam konferensi pers di Beijing, Senin (15/9/2025).
Menurutnya, kebijakan tarif Trump justru berisiko merusak stabilitas rantai pasokan global. “Pemaksaan tidak pernah menyelesaikan masalah, apalagi memenangkan hati dan pikiran,” tambahnya.
Trump sebelumnya menulis di akun Truth Social bahwa tarif setinggi 50–100 persen perlu diberlakukan untuk “mematahkan cengkeraman Beijing atas Rusia.” Ia juga menuding NATO tidak sepenuhnya serius menekan Moskow karena sebagian anggotanya masih membeli minyak Rusia.
China bereaksi keras. Lin Jian menegaskan bila kepentingan nasional mereka dirugikan, Beijing siap melancarkan langkah balasan. “Kami akan bertindak tegas melindungi kedaulatan dan kepentingan pembangunan kami,” ujarnya.
Situasi ini menambah ketidakpastian global. Negara-negara G7 dan Uni Eropa memang sudah menghentikan impor minyak Rusia serta menetapkan batas harga. Namun, Rusia justru memperbesar pasokan ke China dan India. Trump bahkan sudah menjatuhkan tarif tambahan 25 persen pada produk India karena alasan serupa.
China sendiri tetap pada posisinya terkait krisis Ukraina: mendorong dialog dan negosiasi, bukan sanksi sepihak. Namun, ancaman tarif dari Washington dikhawatirkan bisa memicu perang dagang jilid baru, dengan dampak yang berpotensi mengguncang perekonomian dunia.