Suku Talang Mamak di Riau Terjebak Perubahan Tata Ruang, Pengakuan Lahan Terancam Taman Nasional Selasa, 23/09/2025 | 11:17
Riau12.com-PEKANBARU – Di balik lebatnya hutan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, masyarakat Talang Mamak telah turun-temurun menjadikan hutan sebagai ibu dan sumber kehidupan. Namun, pengakuan negara atas ruang hidup mereka justru terperangkap dalam silang sengkarut peraturan tata ruang yang terus berubah.
Ketua Umap Majelis Kerapatan Adat (MKA) Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) Provinsi Riau, Datuk Seri Raja Marjohan Yusuf, menyoroti persoalan ini dalam rapat dengan Komite I DPD RI, Senin (22/9/2025). “Masyarakat adat itu sangat bijak menjaga alam dan hukum itu sendiri. Jadi sebelum Republik ini ada, masyarakat itu sudah ada,” ujarnya.
Masalah muncul ketika batas wilayah adat tidak jelas di lapangan. Marjohan mencontohkan keluhan masyarakat di Rimbang Baling, Kampar Kiri. “Di sana disebutkan hutan lindung, tapi tidak ada papan penunjuk kemana. Jadi masyarakat tidak tahu, apalagi yang berada di pedalaman,” ujarnya.
Wakil Bupati Indragiri Hulu (Inhu), Hendrizal, menambahkan kegelisahan serupa. Ia menyoroti kesulitan masyarakat Talang Mamak menerbitkan sertifikat tanah mereka. “Masyarakat itu sudah ada di situ, terbentuk dusun-dusun di daerah penyangga... tapi sampai hari ini, mereka tidak bisa menerbitkan sertifikatnya,” keluh Hendrizal. Penyebabnya, wilayah adat tumpang tindih dengan kawasan konservasi Taman Nasional Bukit Tiga Puluh.
Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Riau, Nurhadi Putra, menjelaskan akar masalah terletak pada dinamika kebijakan tata ruang yang tidak sinkron. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Riau pertama terbit pada 1994, dan banyak sertifikat diterbitkan sesuai peta tersebut. Masalah muncul setelah SK Menteri Kehutanan 2016 yang menetapkan 2 juta hektare Areal Penggunaan Lain (APL) menjadi kawasan hutan, diikuti revisi SK 2021.
Dampaknya, ribuan sertifikat sah yang diterbitkan sebelum 2016 tiba-tiba dianggap menempati kawasan hutan. “Kewenangan kami terbatas. Tidak bisa menyentuh area yang masuk kawasan hutan, apalagi konservasi,” ujar Nurhadi.
Sebagai solusi, BPN Riau bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membentuk tim gabungan untuk mendata sertifikat satu per satu. Harapannya, lahan yang sertifikatnya terbit lebih dulu daripada penetapan kawasan hutan bisa dikeluarkan melalui revisi SK KLHK.
Namun, jalan penyelesaian masih panjang dan berliku. Bagi Suku Talang Mamak dan banyak masyarakat adat lainnya, proses birokrasi ini adalah penantian panjang atas pengakuan yang sudah semestinya mereka dapatkan. Marjohan menegaskan, “Mudah-mudahan dengan turunnya Bapak dan Ibu yang saya hormati masalah-masalah di Riau ini akan dapat diselesaikan.”