Polairud Tangkap Penambang Pasir, Aliansi Adat: Ini Tradisi Puluhan Tahun, Bukan Kejahatan Jumat, 10/10/2025 | 08:54
Riau12.com-BENGKALIS – Penangkapan tiga penambang pasir tradisional asal Pulau Rupat oleh Direktorat Polisi Air dan Udara (Polairud) Polda Riau pada Senin (22/9/2025) lalu memicu gelombang keprihatinan dari masyarakat setempat. Aksi penegakan hukum itu dinilai menimbulkan dampak sosial dan ekonomi bagi warga pesisir yang menggantungkan hidup dari aktivitas tambang pasir tradisional.
Ketiga penambang diamankan sekitar pukul 04.00 WIB dini hari dan langsung dibawa ke Markas Polairud Polda Riau di Pekanbaru pada pagi harinya. Penangkapan itu memantik reaksi dari berbagai pihak, termasuk Aliansi Masyarakat Peduli Adat (Ampat) Kecamatan Rupat yang menilai tindakan tersebut berlebihan.
“Mereka bukan pengusaha besar, hanya rakyat kecil yang menambang pasir untuk kebutuhan lokal membangun rumah warga, rumah ibadah, hingga kantor pemerintahan,” ujar Ketua Ampat, Suluki Rahimi, Kamis (9/10).
Suluki menjelaskan, pasir yang diambil masyarakat selama ini tidak diperjualbelikan ke luar daerah, melainkan digunakan untuk kepentingan pembangunan di Pulau Rupat sendiri. Namun sejak penangkapan itu, banyak warga kehilangan mata pencaharian dan sejumlah proyek pembangunan lokal terhenti.
“Dari pasir itu banyak orang hidup, mulai dari buruh harian sampai tukang bangunan. Sekarang semuanya berhenti karena takut ditangkap,” tambahnya.
Pihak Polairud Polda Riau sebelumnya beralasan penangkapan dilakukan karena aktivitas tambang pasir tanpa izin resmi melanggar ketentuan hukum. Namun Ampat menilai pendekatan hukum semata tidak cukup menyelesaikan akar persoalan sosial di masyarakat pesisir.
“Penambangan ini sudah dilakukan turun-temurun selama puluhan tahun, bahkan hampir seabad. Ini bagian dari tradisi masyarakat pesisir Rupat yang menggantungkan hidupnya pada alam,” tegas Suluki yang juga mantan Ketua Himpunan Pelajar Mahasiswa Rupat (HPMR) Pekanbaru 2004–2006, didampingi Sekretaris Ampat, Johari.
Suluki menilai semangat Pasal 33 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat seharusnya menjadi dasar kebijakan yang berpihak kepada masyarakat kecil. Karena itu, ia mendesak pemerintah daerah dan provinsi segera mencari solusi yang adil bagi penambang pasir tradisional.
“Kami tidak menolak aturan, tapi pemerintah seharusnya menghadirkan kebijakan yang berpihak kepada rakyat kecil. Jangan sampai masyarakat yang hanya ingin bertahan hidup justru dikriminalisasi,” ujarnya.
Ampat meminta Pemerintah Kecamatan Rupat, Pemkab Bengkalis, dan Pemprov Riau mengevaluasi kebijakan pengelolaan sumber daya alam, khususnya tambang pasir tradisional. Mereka juga mendorong dibuatnya regulasi yang memungkinkan aktivitas tambang rakyat berjalan legal tanpa mematikan ekonomi pesisir.
Selain itu, Ampat berharap aparat penegak hukum mempertimbangkan keringanan hukuman bagi tiga warga Rupat yang kini masih ditahan di Polda Riau. Kasus ini, kata Suluki, harus menjadi momentum bagi pemerintah untuk menata kebijakan pengelolaan sumber daya alam secara lebih manusiawi dan berkeadilan.
“Persoalan ini harus menjadi perhatian serius semua pihak. Jangan sampai rakyat kecil yang berjuang untuk hidup justru menjadi korban kebijakan yang tidak berpihak,” tutup Suluki.