Diduga Ada Error of Law, Kuasa Hukum Warga Protes Perubahan Status Lahan Jadi Fasum di Proyek Tol Ria Sabtu, 11/10/2025 | 14:43
Riau12.com-PEKANBARU – Sejumlah warga pemilik lahan di Desa Tarai Bangun, Kabupaten Kampar, terkejut setelah mengetahui tanah mereka yang memiliki surat kepemilikan sah dan terdampak pembangunan Jalan Tol Pekanbaru–Rengat, tiba-tiba berubah status menjadi fasilitas umum (fasum). Akibat perubahan status itu, warga tidak mendapat ganti rugi meski lahan mereka sudah diukur dan bahkan sudah memiliki nomor rekening untuk pembayaran.
Kuasa hukum tiga warga terdampak, Bonny Nofriza SH MH, mengaku heran dengan perubahan mendadak tersebut. Ia menyebut, keluarnya nomor rekening ganti rugi menandakan bahwa proses verifikasi dan penetapan ganti rugi sudah selesai.
“Kalau sudah ada nomor rekening artinya sudah ada proses verifikasi, tapi kok bisa tiba-tiba dihapus dan berubah status menjadi jalan. Bahkan nilai ganti ruginya pun sudah keluar,” ujar Bonny, Jumat (10/10/2025).
Nomor konsinyasi proyek itu tercatat dalam dokumen SPP PPK Pengadaan Tanah No TN.02.06/015415/04/001-KKNS-RMP, berdasarkan keputusan Ditjen Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan RI. Namun belakangan, lahan tersebut ditetapkan sebagai fasum setelah adanya masukan dari pihak Gabungan Koperasi Pegawai Negeri (GKPN), yang disebut memiliki rencana pembangunan perumahan di sekitar lokasi.
“Kita pastikan lahan GKPN tidak terdampak proyek jalan tol. Tapi anehnya, justru pendapat mereka yang didengarkan, padahal mereka belum punya izin prinsip atau izin tata ruang,” kata Bonny heran.
Kepala Desa Tarai Bangun, Andra Maistar, juga membenarkan adanya perubahan status lahan warga menjadi fasum tanpa sepengetahuan pemerintah desa. “Kita di desa tahu semua bidang tanah yang ada. Jadi kalau disebut itu fasum, kami tidak pernah tahu dan tidak pernah menetapkannya,” tegas Andra.
Ia menambahkan, dirinya turut mengikuti proses pembebasan lahan tol sejak awal, dan mengetahui bahwa permasalahan serupa juga dialami beberapa warga lainnya.
Persoalan ini bermula pada Juli 2023, ketika tim gabungan dari Kementerian PUPR, BPN Kampar, dan aparat desa yang tergabung dalam Tim Penyelesaian Penguasaan Tanah (P2T) melakukan inventarisasi lahan. Tim meminta para pemilik menunjukkan batas tanah secara langsung tanpa boleh diwakilkan, kecuali oleh keluarga sedarah.
Namun, pada saat pengumuman daftar nominatif 28 Agustus 2023, Bonny menemukan bahwa tanah yang sebelumnya bersih dari klaim mendadak tumpang tindih dengan banyak pihak lain. “Saya sangat terkejut, karena yang mengklaim tidak punya hubungan darah dan tidak membawa bukti kepemilikan,” ujarnya.
Bonny menyebut, akibat tumpang tindih itu, delapan bidang tanah dengan surat keterangan tanah resmi berubah menjadi 129 nomor induk bidang sementara (NIS). Beberapa di antaranya justru bersengketa dengan fasum.
Pada Juli 2025, satuan kerja pengadaan tanah tol Pekanbaru–Rengat menyimpulkan bahwa fasum tidak dapat diberi ganti rugi, berdasarkan Permendagri Nomor 9 Tahun 2009. P2T Kampar kemudian menghapus seluruh NIS yang bersengketa dengan fasum, termasuk milik warga klien Bonny.
Bonny menilai keputusan itu sebagai bentuk kesalahan hukum atau error of law. Menurutnya, penetapan fasum seharusnya melalui mekanisme hukum yang jelas, termasuk adanya berita acara serah terima, pencatatan aset daerah, serta surat keputusan kepala daerah.
“Kami mempertanyakan siapa yang menyerahkan fasum tersebut, apakah sudah ada SK atau berita acara resmi. Kalau belum, bagaimana bisa disebut fasum dan dijadikan alasan menghapus hak ganti rugi warga,” tegas Bonny.
Ia menambahkan, pihaknya sudah mengirim surat keberatan kepada P2T agar meninjau ulang dan mencabut verifikasi yang menghilangkan hak warga atas ganti rugi. “Klien kami mendukung penuh proyek strategis nasional tol Pekanbaru–Rengat, tapi pelaksanaannya harus sesuai koridor hukum agar tidak merugikan masyarakat,” ujarnya.
Menanggapi persoalan itu, Kepala BPN Kampar, Andi Darmawan Lubis, mempersilakan warga menempuh jalur hukum bila merasa dirugikan. “Jika masyarakat merasa lahan itu milik mereka, silakan ajukan gugatan ke pengadilan. Mereka bisa menguji status atau penetapan lahan yang disebut fasum itu,” jelas Andi.
Kasus ini kini menjadi perhatian publik, karena selain menyangkut hak warga, juga menyentuh aspek akuntabilitas dalam pelaksanaan proyek strategis nasional yang dibiayai negara.