Korupsi di BUMD Migas Riau: Eks Dirut dan Direktur Keuangan PT SPR Langgak Ditahan, Negara Rugi Rp33,29 Miliar Rabu, 22/10/2025 | 09:24
Riau12.com-JAKARTA - Skandal korupsi kembali mencoreng dunia badan usaha milik daerah. Kali ini, giliran PT Sarana Pembangunan Riau (SPR) Langgak, perusahaan milik Pemerintah Provinsi Riau yang bergerak di sektor minyak dan gas bumi, terseret kasus dugaan penyalahgunaan wewenang dan pengelolaan keuangan yang tidak transparan.
Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Bareskrim Polri resmi menetapkan dua mantan pejabat tinggi perusahaan tersebut sebagai tersangka, yakni Rahman Akil, Direktur Utama PT SPR periode 2010–2015, dan Debby Riauma Sary, mantan Direktur Keuangan. Keduanya diduga kuat terlibat dalam praktik korupsi yang menyebabkan kerugian besar bagi negara.
“Setelah melalui rangkaian penyidikan dan didukung bukti yang cukup, penyidik melakukan tindakan penahanan terhadap kedua tersangka di Rutan Bareskrim Polri,” kata Wakil Direktur Penindakan Kortas Tipikor Polri, Bhakti Eri Nurmansyah, dalam konferensi pers di Jakarta Selatan, Selasa (21/10/2025).
Kasus ini bermula dari pendirian anak perusahaan PT SPR Langgak yang bertugas mengelola Blok Migas Langgak di Riau. Pada 30 November 2009, perusahaan tersebut menandatangani kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan mitra asing PT Kingswood Capital Ltd. Kontrak ini berlaku selama 20 tahun, mulai April 2010 hingga 2030.
Namun, dalam praktiknya, ditemukan berbagai penyimpangan serius. Berdasarkan hasil penyelidikan, kedua tersangka diduga melakukan pengeluaran keuangan yang tidak sesuai dengan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Modusnya antara lain pengadaan fiktif, manipulasi data produksi minyak, serta kelalaian dalam pencatatan overlifting yang menyebabkan kerugian besar bagi negara.
Laporan audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengungkap total kerugian negara mencapai Rp33,29 miliar dan 3.000 dolar AS atau sekitar Rp49,6 juta. Dalam penyelidikan, penyidik telah memeriksa sedikitnya 45 saksi dan empat ahli, serta melakukan penggeledahan di rumah dan kantor kedua tersangka.
Dari hasil penggeledahan, aparat berhasil menyita sejumlah barang bukti berupa uang tunai senilai Rp5,4 miliar, aset tanah dan bangunan, serta beberapa unit kendaraan mewah. Total nilai aset yang disita ditaksir mencapai Rp50 miliar.
Kedua tersangka kini dijerat dengan Pasal 2 dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Mereka terancam hukuman maksimal 20 tahun penjara.
Kasus ini menjadi tamparan keras bagi upaya perbaikan tata kelola BUMD di daerah. Pemerintah daerah dan aparat penegak hukum diharapkan lebih memperketat pengawasan agar praktik serupa tidak kembali mencoreng nama daerah dan merugikan keuangan negara.