Teladan Kejujuran Rasulullah SAW: Kebaikan yang Mengantarkan ke Surga, Kedustaan Menjerumuskan ke Neraka Kamis, 23/10/2025 | 13:43
Riau12.com-Pada tahun keenam Hijriah, Abu Sufyan melakukan perjalanan berniaga ke Syam. Di sana, ia mendapat undangan khusus dari Kaisar Heraclius untuk berdiskusi mengenai sifat Muhammad SAW dan ajaran yang dibawanya.
Meskipun saat itu Abu Sufyan belum memeluk Islam dan masih memusuhi Rasulullah SAW, ia tetap mengakui kejujuran dan akhlak mulia Nabi. Abu Sufyan menegaskan bahwa Muhammad SAW adalah sosok yang jujur, tidak pernah berdusta, dan selalu mengajak manusia untuk menyembah Allah SWT serta berperilaku luhur. Ia bahkan mengatakan, “Demi Allah, jika bukan karena aku khawatir orang-orang akan menjuluki diriku sebagai seorang pendusta, niscaya aku akan berdusta tentang Muhammad” (HR Bukhari).
Sejak kecil, Rasulullah SAW dikenal dengan julukan al-Amin, yang berarti tepercaya. Bahkan Abu Jahal, yang hidupnya memusuhi Islam dan sempat berencana membunuh Nabi, pernah menyatakan, “Kami tidak mendustakanmu, wahai Muhammad. Kami hanya menolak agama yang engkau dakwahkan.” Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT:
“Sungguh Kami mengetahui bahwa apa yang mereka katakan itu membuatmu sedih. (Namun ketahuilah) Sesungguhnya mereka tidak mendustakanmu, akan tetapi orang-orang zalim itu mendustakan ayat-ayat Allah” (QS al-An'am [6]: 33).
Kejujuran adalah salah satu ciri utama seorang Mukmin. Suatu ketika seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW, “Apakah seorang Mukmin akan berdusta?” Nabi menjawab dengan tegas bahwa orang beriman tidak berdusta, lalu membaca ayat ke-105 surah an-Nahl:
“Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kedustaan adalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah. Dan mereka itu adalah orang-orang pendusta.”
Dari penjelasan ini, dapat dipahami bahwa orang yang beriman selalu menyadari eksistensi Allah SWT dan pengetahuan-Nya atas semua perbuatan manusia. Sebaliknya, kedustaan menandakan kemunafikan, karena seseorang yang berdusta seakan menganggap Allah tidak mengetahui perbuatannya. Rasulullah SAW bersabda:
“Dia adalah munafik walaupun dia melakukan shalat dan berpuasa, serta menyangka bahwa dirinya beriman” (HR Muslim).
Dalam kesempatan lain, Nabi menekankan pentingnya kejujuran:
“Sesungguhnya, kejujuran akan membawa kebaikan, dan kebaikan akan mengantarkan orang ke dalam surga. Tidaklah seseorang selalu berkata jujur atau berusaha untuk selalu jujur, sehingga Allah mencatatnya sebagai orang yang jujur. Sebaliknya, kedustaan akan membawa kedurhakaan, dan kedurhakaan akan menjerumuskan orang ke neraka. Dan tidaklah seseorang selalu berdusta atau berusaha menutupi kedustaannya dengan kedustaan yang lain, kecuali Allah akan mencatatnya sebagai seorang pendusta” (HR Muttafaq 'Alaih dari Ibn Mas’ud).
Dengan demikian, Rasulullah SAW memberikan teladan bahwa kejujuran bukan sekadar kata-kata, tetapi juga perbuatan yang tercermin dalam akhlak sehari-hari. Kejujuran membawa kebaikan dunia dan akhirat, sementara kedustaan hanya menimbulkan kerusakan dan dosa.